Sejarah Balaraja, Era Kumpeni hingga Kini
Oleh: Supiyatna
Praktisi Pendidikan, Tinggal di Desa Merak, Kecamatan Sukamulya
I. Balaraja dari Masa ke Masa
A. Balaraja Masa Kerajaan Banten
Balaraja yang terletak di Tangerang bagian barat yang menyimpan bukti sejarah dan titik nadirnya dimulai dari nama daerah ini. Nama kota Balaraja terdapat dua versi akar nama sejarah kota ini.
Balaraja yang terletak di Tangerang bagian barat yang menyimpan bukti sejarah dan titik nadirnya dimulai dari nama daerah ini. Nama kota Balaraja terdapat dua versi akar nama sejarah kota ini.
Pertama, Balaraja berasal dari kata bala (bale) dan raja. Bale berarti
balai atau tempat persinggahan. Dan raja yang dimaksud di sini adalah
raja yang berasal dari kerajaan Banten. Artinya tempat peristirahatan
raja. Pernyataan ini dikuatkan dengan sebuah tempat pemandian yang
dikenal dengan nama Talagasari (Tempat ini kemudian menjadi nama desa).
Letak tempat pemandian tersebut tepat berada di depan balai dulu gedung
Kewedanaan Balaraja dan sekarang dijadikan gedung Kecamatan Balaraja
tersebut. Diperkirakan berada di Klinik Aroba, tepatnya di belakang
Mesjid Al-Jihad. Hal ini mengingatkan kita pada Tasik Ardi dekat Situs
Surosowan, Banten.
Ada berbagai versi mengenai diri raja yang
beristirahat di wilayah ini. Pertama ada yang menyatakan Raja Brawijaya
dari Majapahit dan Sultan Agung dari Mataram yang tercatat dalam sejarah
pernah menyerang Batavia.
Versi kedua dan ketiga ini sebenarnya kurang kuat. Jika dilihat dari bukti yang tersebar di sekitaran Balaraja kini. Bukti pertama, Patung Balaraja yang dikenal masyarakat sebagai patung Ki Buyut Talim sebagai salah satu icon pejuang Banten.
Versi kedua dan ketiga ini sebenarnya kurang kuat. Jika dilihat dari bukti yang tersebar di sekitaran Balaraja kini. Bukti pertama, Patung Balaraja yang dikenal masyarakat sebagai patung Ki Buyut Talim sebagai salah satu icon pejuang Banten.
Kedua, terdapat makam Buyut Sanudin letaknya
berada di Kampung Leuweung Gede Desa Parahu Kecamatan Sukamulya.
Ketiga, Makam Nyi Mas Malati di Kampung Bunar, Desa Bunar Kecamatan
Sukamulya. Pejuang wanita Banten di Tangerang.
Dan yang terakhir Makam Uyut Ambiya. Makam
yang pernah membuat heboh seantaro Nusantara karena makam ini mendadak
membesar seperti orang hamil. Dari beberapa hikayat bahwa Uyut Ambiya
ini salah satu pemimpin perang Banten versus Kompeni Belanda. Sebagian
orang ada yang mengatakan Uyut Ambiya ini orang yang sama dengan Buyut
Talim.
Jika ditinjau dari persebaran bahasa. Di
Balaraja terdapat pulau bahasa Jawa Banten yang berada di Kampung Pekong
Desa Saga Kecamatan Balaraja. Kemiripan kosa kata dengan bahasa di
bantaran sungai dan pesisir pantai di wilayah kerajaan Banten.
Dari bukti-bukti tersebut Balaraja sangat
kental dengan perjuangan Banten melawan Kompeni Belanda yang berada di
batas demarkasi sebelah Timur Cisadane. Wajar saja sebab wilayah ini
dibelah oleh sungai Cimanceri sebagai jalan menuju Batavia pada waktu
itu.
Adapun versi etimologi, Balaraja yang kedua.
Kata Balaraja berasal dari dua kata, Yakni kata bala tentara raja
kemudian untuk memudahkan sebuta disingkat menjadi balaraja. Versi ini
juga mengakui bahwa bala tentara raja ini berasal dari Banten.
Jika kita kaitkan dengan bukti yang tersebar
di sekitaran kota ini sangat cocok. Sebab bukti makam yang berada
disekitaran Balaraja pun dipenuhi oleh makam para pejuang yang berasal
dari Banten.
Nama Kota Balaraja pernah diinterpretasi
oleh Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) dalam tausiyah di Mesjid At-Taqwa,
Tanjung Karang, Bandar Lampung, 1998. Ketika itu penulis masih menjadi
mahasiswa di sana. Beliau mengatakan bahwa tanda-tanda kejatuhan
Soeharto itu ditandai oleh membesarnya (baca: Hamilnya) makam para
pejuang Banten di desa Tobat.
Sign pada kata “Bala” bermakna
bencana dan “raja” itu presiden yang berkuasa dalam hal ini, Soeharto.
Tempat makam tersebut berada di desa Tobat. Bencana bagi presiden
menandakan bencana yang menimpa Soeharto dan kroninya untuk segera
bertobat. Kata bertobat itu merujuk pada nama desa tempat makam berada.
B. Balaraja Masa Kolonial
Sejarah Balaraja ketika zaman Kolonial Belanda tak lepas dari sejarah berdirinya Tangerang yang pada waktu itu ditetapkan sebagai kontroleur afdeling yang dikepalai seorang kontroleur. Daerah itu dibagi dalam beberapa wilayah administrasi distrik (orang Balaraja bilang: kewedanaan) yang dikepalai seorang demang (dimulai 1881)—tahun 1907 kemudian diganti dengan wedana.
Sejarah Balaraja ketika zaman Kolonial Belanda tak lepas dari sejarah berdirinya Tangerang yang pada waktu itu ditetapkan sebagai kontroleur afdeling yang dikepalai seorang kontroleur. Daerah itu dibagi dalam beberapa wilayah administrasi distrik (orang Balaraja bilang: kewedanaan) yang dikepalai seorang demang (dimulai 1881)—tahun 1907 kemudian diganti dengan wedana.
Berdasarkan Staatblad van het Nederlands Indie No. 185 tahun 1918 luas
wilayah tersebut 1309 Km2 yang terdiri dari distrik Tangerang, Belaraja
(Blaraja) dan Mauk. Pada perkembanganya dimekarkan menjadi empat
sehingga pada tahun 1934 berdirilah Kewedanaan Curug.
Dalam ranah birokrasi kolonial Belanda
jabatan yang paling tinggi untuk bumiputera adalah wedana dan kepala
jaksa. Jabatan ini pun pada umumnya dipegang oleh bangsawan Sunda dari
Priangan atau Cirebon.
Dalam catatan sejarah kolonial Belanda yang menjabat sebagai Wedana Balaraja, antara lain: Rangga Jaban Abdoel Moehi (17 Maret 1881-1907), Mas Martomi Abdoelhardjo (17 Juli 1907-1910), Soeid bin Soeoed (31 Oktober 1910-1924), R. Soeria Adilaga (22 Mei 1924-1925), R. Abas Soeria Nata Atmadja (26 Februari 1925-1925), R. Kandoeroen Sastra Negara (28 November 1925-1918), R. Achmad Wirahadi Koesoemah (11 Mei 1928-1930), Mas Sutadiwirja (27 Oktober 1930-1932), R. Momod Tisna Wijaya (28 Mei 1932-…), Toebagoes Bakri (1 Februari 1934-1935), R. Moehamad Tabri Danoe Saputra (20 Juni 1935-1940), dan Mas Moehamad Hapid Wiradinata (17 Juni 1940-…) .
Dalam catatan sejarah kolonial Belanda yang menjabat sebagai Wedana Balaraja, antara lain: Rangga Jaban Abdoel Moehi (17 Maret 1881-1907), Mas Martomi Abdoelhardjo (17 Juli 1907-1910), Soeid bin Soeoed (31 Oktober 1910-1924), R. Soeria Adilaga (22 Mei 1924-1925), R. Abas Soeria Nata Atmadja (26 Februari 1925-1925), R. Kandoeroen Sastra Negara (28 November 1925-1918), R. Achmad Wirahadi Koesoemah (11 Mei 1928-1930), Mas Sutadiwirja (27 Oktober 1930-1932), R. Momod Tisna Wijaya (28 Mei 1932-…), Toebagoes Bakri (1 Februari 1934-1935), R. Moehamad Tabri Danoe Saputra (20 Juni 1935-1940), dan Mas Moehamad Hapid Wiradinata (17 Juni 1940-…) .
Adapun wilayah distrik tak lepas dari tanah
partikelir. Jika kita konversikan sekarang tanah partikelir di Balaraja
(1900-1910) tersebut terdiri dari Antjol Victoria of Daroe (sekarang
masuk ke wilayah Kecamatan Jambe dan sebagian Kab. Bogor), Antjol Pasir
(sekarang masuk kecamatan Jambe), Blaradja en Boeniajoe (sekarang masuk
wilayah kecamatan Balaraja dan Sukamulya), Tigaraksa (sekarang masuk
wilayah kecamatan Tigaraksa), Tjikoeja (sekarang masuk wilayah Kecamatan
Cisoka dan Solear), Karangserang dalem of Kemiri (sekarang masuk
wilayah kecamatan Kemiri), Pasilian (sekarang masuk wilayah kecamatan
Kronjo), Djenggati (sekarang masuk wilayah Kabupaten Serang), Tjakoeng
of Kresek (sekarang masuk wilayah kecamatan Kresek).
Tanah partikelir ini digelontorkan kepada pihak swasta untuk disewakan oleh Kompeni Belanda akibat kebangkrutan VOC. Swastanisasi tanah milik Negara merupakan solusi untuk menutupi kebangkrutan kas VOC waktu itu.
Tanah partikelir ini digelontorkan kepada pihak swasta untuk disewakan oleh Kompeni Belanda akibat kebangkrutan VOC. Swastanisasi tanah milik Negara merupakan solusi untuk menutupi kebangkrutan kas VOC waktu itu.
C. Balaraja Masa Revolusi
Pergolakan di Balaraja terjadi ketika pasca perang dunia II saat bom atom Hirosima-Nagasaki meluluhlantakan Jepang. Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu, 1945. Efeknya Indonesia mampu merebut kemerdekaan, 17 Agustus 1945. Anehnya berita kemerdekaan Republik Indonesia telat diterima oleh warga Tangerang, termasuk daerah-daerah di bawah kewenangan Kewedanaan Balaraja pada saat itu.
Pergolakan di Balaraja terjadi ketika pasca perang dunia II saat bom atom Hirosima-Nagasaki meluluhlantakan Jepang. Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu, 1945. Efeknya Indonesia mampu merebut kemerdekaan, 17 Agustus 1945. Anehnya berita kemerdekaan Republik Indonesia telat diterima oleh warga Tangerang, termasuk daerah-daerah di bawah kewenangan Kewedanaan Balaraja pada saat itu.
Pergolakan Tangerang tak lepas dari peran
serta komando Resimen Tangerang yang di dalamnya terdapat lasykar
rakyat. Berita dari pelaku lasykar pernah di dengar penulis dari
almarhum Sersan Sawinan (mantan TRI) ketika terjadi baku tembak antara
Tentara Belanda (Gurkha) dan Lasykar rakyat di Pasar Balaraja lama.
Beliau menceritakan bangunan pasar
dibombardir (baca: digranat) oleh tentara Belanda. Kekaguman penulis
saat itu mengarah pada struktur kekuatan beton bangunan pasar yang tetap
tangguh. Mungkin sesuatu yang susah dicari tandingannya dengan bangunan
di zaman sekarang.
Peperangan yang dimulai dari Cikande akhirnya membuat lasykar rakyat bergerilya masuk desa keluar desa. Korban dari kedua belah pun tak terelakan lagi.
Peperangan yang dimulai dari Cikande akhirnya membuat lasykar rakyat bergerilya masuk desa keluar desa. Korban dari kedua belah pun tak terelakan lagi.
Masa revolusi yang menjadi catatan pahit
adalah zaman gedoran Cina. Peristiwa ini tercatat dalam berita
jurnalistik sekitar awal Juni 1946. Kampung Parahu dan Kampung Ceplak
Kewedanaan Balaraja adalah kampung yang paling banyak menelan korban
warga Cina.
Peristiwa kelam ini bukan berarti melulu
kesalahan pribumi tetapi memang kesalahan sistem kolonial yang membuat
pribumi tertindas. Peristiwa ini pun diperparah dengan identifikasi
pribumi terhadap warga Cina yang menjadi mata-mata Belanda. Kerusuhan
muncul mulai dari Tangerang merambah ke daerah hingga pecah di kawasan
Kewedanaan Balaraja.
Syahrir sebagai perdana menteri pada 6 Juni
1946 menyesali peristiwa penggedoran Tangerang. Esoknya Soekarno pun
menyinggung peristiwa tersebut dalam pidatonya yang berjudul “Keadaan
Bahaya”.
Sebagai tindak lanjut pemerintah menginstruksikan kepada Resimen Tangerang untuk melucuti senjata yang berada di tangan rakyat. Di samping itu, pemerintah pusat mengirimkan misi yang dipimpin menteri penerangan M. Natsir disertai pejabat kementrian dalam negeri, wakil Tentara Republik Indonesia (TRI) bersama wakil golongan Cina, Oey Kim Seng menginspeksi tempat-tempat terjadinya kerusuhan.
Sebagai tindak lanjut pemerintah menginstruksikan kepada Resimen Tangerang untuk melucuti senjata yang berada di tangan rakyat. Di samping itu, pemerintah pusat mengirimkan misi yang dipimpin menteri penerangan M. Natsir disertai pejabat kementrian dalam negeri, wakil Tentara Republik Indonesia (TRI) bersama wakil golongan Cina, Oey Kim Seng menginspeksi tempat-tempat terjadinya kerusuhan.
Di Balaraja M. Natsir berpidato dihadapan
massa dan menasihati masyarakat Balaraja. Agar kerusuhan semacam ini
tidak terulang kembali karena akan merugikan pemerintah RI yang baru
saja berdiri dalam meraih citra publik di mata internasional. Dibantu
oleh tokoh daerah seperti Achmad Chotib, Syamoen dan Sutalaksana.
Akhirnya warga pribumi dan Cina pun memahami kekeliruannya.
Ada hal yang patut menjadi perhatian bagi
pembaca bahwa Balaraja pernah menjadi ibukota Kabupaten Tangerang ketika
diduduki tentara Gurkha, Belanda. Pemerintah RI mengangkat R. Achyad
Penna sebagai Patih Pemerintah RI beserta seluruh staf dan aparat
pemerintah RI Kabupaten Tangerang mutasi ke Balaraja, jabatannya
pertamanya dari 1945 hingga 1949. Selanjutnya Bupati RI di Balaraja
dijabat oleh KH Abdulhadi (Juli 1946), R. Djajarukmana (1947) hingga
jabatan ini kembali ke R. Achyad Penna tahun (1950-1952).
Sebagai catatan bahwa pada masa revolusi
kedudukan pemerintah RI Kabupaten Tangerang berkedudukan di Balaraja
kurang lebih selama 7 tahun. R. Achyad Penna sebagai orang Tangerang
lulusan OSVIA Serang kemudian menjabat kembali sebagai Bupati Tangerang
(1950-1952) setelah penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada pemerintah
RI.
D. Balaraja Masa Kini
Kewedanaan Balaraja berkembang seiring dengan perkembangan zaman sistem ini pun dihilangkan dan masing-masing wilayah partikelir pun menjadi kecamatan. Kecamatan Balaraja, Tigaraksa, Cisoka, Kronjo dan Kresek. Selanjutnya Balaraja memekarkan Jayanti sebagai kecamatan.
Kewedanaan Balaraja berkembang seiring dengan perkembangan zaman sistem ini pun dihilangkan dan masing-masing wilayah partikelir pun menjadi kecamatan. Kecamatan Balaraja, Tigaraksa, Cisoka, Kronjo dan Kresek. Selanjutnya Balaraja memekarkan Jayanti sebagai kecamatan.
Seiring dengan perkembangan zaman otonomi
daerah, tahun 2007 Bupati Tangerang, Ismet Iskandar memekarkan kembali
Kecamatan Balaraja sehingga jadilah Kecamatan Sukamulya. Kecamatan
Kresek dipekarkan jadilah Kecamatan Gunung Kaler. Kronjo dipekarkan
jadilah Kecamatan Mekar Baru dan Kecamatan Cisoka jadilah tumbuhlah
Kecamatan Solear. Sebagai ancangan pembentukan Kabupaten baru yang
bernama Tangerang Barat.
Secara historis Tangerang bagian barat ini
sudah sepantasnya menjadi kabupaten diiringi kelengkapan potensi
pendapatan asli daerah sangat memungkin. Letak geografis yang strategis
di antara jalur lalu lintas nasional yang cukup padat.
Pusat Industri tumbuh dan berkembang di
Kecamatan Balaraja, Jayanti dan Cisoka. Areal perumahan sebagai daerah
salah satu penyangga Ibukota sudah berdiri di setiap kecamatan yang ada
di daerah ini.
Potensi pertanian tersebar di wilayah
kecamatan Cisoka, Solear, Jayanati, Sukamulya, Kresek, Gunung kaler,
Mekar Baru, dan Kronjo. Adapun potensi kelautan dan perikanan berpusat
di Kecamatan Kronjo dan Mekar Baru.
II. Identitas Budaya Tangbar
A. Budaya Berkesenian Di Tangbar
Budaya menurut Koentjoroningrat merupakan
hasil cipta, rasa dan karsa suatu masyarakat. Kaitannya adalah
berkesenian yang didorong karena pengolahan rasa sehingga kehalusan budi
tercermin dalam pribadi masyarakatnya. Kehalusan ini akan berdampak
pada aspek sosial budaya dan sosial politik.
Dari proses interaksi berkesenian inilah
budaya pun menjadi pola pikir yang berpengaruh ke seluruh lini
perikehidupan masyarakat. Dan menjadi ‘ruh’ pijakan pemikiran yang
disadari ataupun tidak oleh individu tersebut.
Dari berbagai pengamatan dapat
dideskripsikan diantaranya berkaitan dengan jiwa kesenian yang menjadi
landasan munculnya hal tersebut di daerah ini, diantaranya adalah budaya
yang bernafaskan religi, yang berlandaskan jejak budaya proto
masyarakat tersebut pun akulturasi dengan masyarakat luar.
Di antara budaya yang berlandaskan religi,
tentunya masyarakat Tangbar yang menduduki wilayah seluas 264.03 Km
dengan jumlah penduduk 573.742 jiwa ini komposisi keberagaman pemeluk
agama masyarakatnya adalah Islam, 572.654; Katolik, 249; Protestan, 401;
Hindu, 226; Budha, 212 (Proyeksi dari Urais Kemenag Kab. Tangerang,
2008). Komposisi ini menunjukkan budaya masyarakat setempat dipengaruhi
oleh ritualitas keislaman yang sangat kental.
Berkesenian secara umum berarti melahirkan
jiwa-jiwa seni atau budaya masyarakat. Di Tangbar budaya Islam yang bisa
dilihat adalah Marhaba Rakbi (dikenal dengan istilah Marhabaan).
Uniknya, akhir tahun 80-an Marhabaan dilakukan untuk prosesi khitanan
anak laki-laki. Sayangnya, prosesi ini hampir bahkan bisa dikatakan
punah di wilayah ini. Penggunaan prosesi ini berbeda di wilayah Banten
lainnya seperti yang dideskripsikan buku ”Profil Seni Budaya Banten”
(Dispendik Prov. Banten, 2003).
Seperti di wilayah Banten lainnya, marhabaan
juga digunakan untuk prosesi pemberian nama kepada si cabang bayi. Sang
bayi di arak keliling ketika hadirin berdiri melantunkan Marhabaan
diikuti nampan dengan lilin dan kelapa muda yang dihiasi pernak-pernik
uang. Pada saat diarak itulah cukuran terhadap bayi tersebut dilakukan
dan rambut hasil cukuran dimasukan ke dalam kelapa muda. Menurut Ust. H.
Nawawi (alm.) jika orang tuanya berkelebihan, hasil cukuran ditimbang
kemudian digantikan dengan emas, emas pun dijual hasilnya kemudian
disedakahkan atau dijariahkan.
Keunikan lain, dari kebiasaan masyarakat
islam Tangbar yakni selalu dikumandangkannya pembacaan manakib Syekh
Abdul Qodir Jaelani atau lebih dikenal dengan istilah mamaca. Saat
penduduk akan melakukan malam pengisiian rumah baru, pesta perkawinan,
ataupun acara selamatan lainnya. Moment yang paling khas pada prosesi
mamaca pengisian rumah adalah di kala sesi pantek paku.
Adapun pada bagian pupuh tertentu terdapat
acara Numbak, yakni mencoba meramal nasib ke depan dengan menyelipkan
uang recehan atau kertas pada lembaran halaman manakiban tersebut.
Memorial acara ini mengingatkan penulis di rumah KH Djasmaryadi ketika
Pak Tile melantunkan pupuh demi pupuh dengan suaranya yang merdu. Mamaca
masih tumbuh subur tetapi kebiasaan ikutannya sudah jarang dilakukan
masyarakat saat ini.
Kesenian rakyat Tangbar lain yang hampir
punah adalah Terbang peninggalan Ibu Nyi Mas Malati sebagaian ada yang
mengatakan peninggalan Syekh Nawawi Al-Bantani yang sekarang dipimpin
Bapak Sakib di Desa Bunar, Sukamulya. Grup kesenian dimainkan oleh lima
orang pemain (2 pemain rebana, 1 pemain kecrek, 1 pemain rebab dan
seorang sebagai pedendang shalawat). Yang menyedihkan tidak ada perawat,
penggali, dan penerus kesenian ini. Diprediksi kurang dari 1 dekade
lagi peninggalan kesenian ini tinggal nama saja.
Satu alat kesenian lagi yang konon nasibnya
akan sama adalah gambang, angklung, dan bedug peninggalan Ki Buyut Kati
dari Tonjong, Kresek. Diperkirakan kemunculan kesenian buhun ini tidak
jauh dari masa keemasan Terbang Ibu Nyi Mas Malati (1658-an). Salah satu
tokoh fenomenal di wilayah ini. Pijakan hukum untuk menjaga budaya ini
yang dapat dijadikan landasan adalah UU No. 5 Thn. 1992 tentang Benda
Cagar Budaya Pasal 18 (1) dan UU No. 19 Thn. 2002 tentang 2002 tentang
Hak Cipta Pasal 10 (1) & (2) sehingga tidak ada lagi ewuh pakewuh
atau ‘kebakaran jenggot’ dikemudian hari atas pengklaiman budaya
tersebut.
‘Alam’ kesenian rakyat yang tidak banyak
diminati pemuda saat ini antara lain antara lain kesenian wayang golek.
Hasil wawancara penulis dengan penggiat kesenian rakyat wilayah ini
tinggal 3 grouf wayang golek yang masih eksis di wilayah ini, antara
lain: grouf wayang golek Murta Ponah I pimpinan Dalang Murjana
(Sukamulya), Murta Ponah II pimpinan Dalang Mursidin (Sukamulya), dan
Gentra Lodaya II pimpinan Dalang Agus Baskara (Pangkat-Jayanti). Dua
dalang terakhir ini konon kabarnya, sudah diakui di kancah nasional.
Dari data yang dapat dihimpun kesenian
rakyat lain yang masih eksis adalah topeng. Kesenian ini mirip dengan
lenong Betawi atau lebih mirip dengan lakon jenaka.
Di antara grouf topeng yang masih aktif
berdasarkan penelusuran di daerah ini antara lain grouf Topeng Gentong
pimpinan Gr. Usup (Parahu-Sukamulya), Sinar Balebat pimpinan Bpk.
Markata (Benda-Sukamulya), Centong pimpinan Bpk. Said (Tonjong-Kresek),
Giri Asih pimpinan Bpk. Saudi (Koper-Kresek), Odah-Saputra pimpinan Ibu
Odah (Bojong Manuk-Kresek), Eroh pimpinan Bpk. Cekong (Cempaka-Cisoka),
Canung pimpinan Bpk. Canung (Cempaka-Cisoka), Mekar Wangi pimpinan Bpk.
Padil Irawan (Pangkat-Jayanti).
Dari sekian grouf topeng ini
ke-eksistensian-nya ditentukan para nayaga-nya yang hanya bergantung
pada frekuensi panggilan para peminatnya saja. Oleh karena itu,
diperlukan adanya perhatian khusus para inohong sehingga keberadaanya
menjadi ikon wisata budaya daerah ini.
Harapan yang diperlukan adanya design khusus
untuk memajukannya dengan inovasi kekinian dalam rangka mendongkrak
devisa daerah. Budaya-budaya rakyat yang ada pun tidak hanya sebagai
simbol dalam seremonial untuk tujuan mempresentasikan keberadaan
kesenian saja tetapi menjadikan wahana sosialisasi program kerja
unggulan Pemda dan bangsa yang berdampak pada peningkatan indeks
pembangunan manusia dan kehalusan budi masyarakat yang semakin terkikis.
B. Budaya Politik Tangbar
Demokrasi menjadi pilihan bangsa kita yang
majemuk terutama dalam rangka memajukkan kesejahteraan umum dan
mencerdaskan kehidupan bangsa. Pilihan ini yang kemudian menjadikan
proses yang memakan waktu dan kesabaran untuk menjadikan masyarakat kita
melek dalam berpolitik dan menyalurkan hasrat politiknya. Tentu saja
proses pengkaderan melek politik ini telah dilakukan dengan berbagai
bentuk kegiatan sejak usia dini hingga manula.
Keharusan pendorong partisipasi masyarakat
bagi 399,427 jiwa dari 203,796 laki-laki dan 195,631 wanita – Total DPS
HP* pada 9 kecamatan di Tangbar – yang menjadi pemilih tetap pada
perhelatan Pilpres setahun lalu, akan menjadi ampuhkah nanti? Tentu,
jawabannya ada dikemudian hari. Bagi bukan menang atau kalah tetapi
persentase tingkat partisipasi masyarakat tersebut ketika pesta digelar.
Tetapi pernahkah kita berpikir bahwa pada saat lepas dari perhelatan
tersebut? Ternyata kita masih punya PR tentang ini. Kita semestinya
mendidik masyarakat kita agar melek politik dalam rangka meminimalisir
kekurangan dan kecurangan pesta tersebut.
Masih terbayang oleh ketika masih duduk di
bangku SMA, waktu itu, tidak ada bahasa money politics dalam Pilkades.
Namun di penghujung tahun ’90-an saat Pilkades kembali hadir penyakit
itu tiba-tiba menggerogoti naluri pemilih. Entahlah budaya semacam itu
muncul di Tangbar. Patogensi masyarakat pun semakin menggila-gila.
Penulis tidak ingin mengungkapkan dari mana ‘virus’ itu muncul. Tetapi
bagaimana menghilangkan perlahan-lahan atau jika mampu sekaligus,
sehingga tidak menjadi penyakit yang akut tingkat tinggi dan melumpuhkan
pesta demokrasi di kampung kita.
Solusinya adalah mendidik politik bersih
dengan kesenian dan perhelatan dalam ritual keagamaan sehingga
penghematan bisa dilakukan. Karena pada saat itu semua lapisan
masyarakat hadir dan bisa tampil dalam rasa kebersamaan – atau dalam
istilah ke-guyub-an. Tumpah ruahnya masyarakat disaat jauh sebelum
menjelang pesta demokrasi menjauhkan anggapan apriori dan alergi
masyarakat terhadap politik.
Kaum muda dan kalangan intelektual harus
bergerak ke depan dan mulai diberi kesempatan untuk sebuah tanggung
jawab atas kemajuan yang dimulai dari perubahan atas kampung halamannya.
Stagnasi akan lincah dengan sendirinya dalam proses dinamisasi zaman
jika ditata dengan sebuah harapan baru. Maka budaya politik baru akan
muncul di tanah ini dengan optimisme yang dipandu oleh jiwa bijak dari
sesepuh sebagai pengejawantahan janji yang telah terucapkan!
Tinjauan kesenian sebagai dagangan yang
bermartabat belum muncul di wilayah ini. Padahal kesenian akan
memberikan dampak yang infiltratif yang halus, lembut dan tumbuh dalam
jiwa setiap insan. Plus disokogurui dengan kegiatan ritual religi yang
mampu mengarahkan keguyuban dalam membelai manusianya untuk berfikir dan
menjadikan wilayahnya baldatun toyibatun warabun gofur.
Dari kesadaran menjaga warisan budaya guyub
inilah warga Tangbar tetap terjaga ketentramannya dari berbagai sudut.
Masyarakatnya yang someah terhadap pendatang dan berangkulan dalam
setiap perhelatan akan tetap terjaga jika diwasiti tanpa kepentingan
oleh setiap aparatur baik oleh pemerintah dan pemerintah daerah.
III. Globalisasi dan Prilaku Orang Tangbar
Arus industrilisasi mengepung
kampung-kampung di Tangerang Barat perubahan mendasar pun terjadi dari
masyarakat agraris menuju masyarakat industri. Corak tata cara ini juga
yang membuka cakrawala bahkan tujuan hidup bagi masyarakat di sini.
Masyarakat agraris akan berbeda dengan masyarakat industri sebab hal ini
berkaitan dengan kegiatan orang yang berkejaran dengan target
eksistensi personalitas.
Masyarakat agraris lebih banyak menciptakan budaya guyub, gotong royong.
Yang melibatkan banyak orang tanpa pamrih atau sekedarnya. Adapun
masyarakat industri akan berlomba untuk mengumpulkan pundi-pundi pribadi
sehingga hasil dari eksistensi diri lebih menonjol daripada kolegial.
Gairah masyarakat industri lebih dinamis, cepat dan praktis sehingga
waktu merupakan hal yang begitu penting, time is money. Berbeda dengan
masyarakat agraris yang lebih tergantung pada alam sehingga waktu pun
bergantung pada iklim. Waktu pun tidak begitu ketat mengatur
perikehidupan masyarakat ini.
Simpelnya, masyarakat agraris itu didominasi pemilik dan masyarakat
industri didominasi buruh. Kedudukan masyarakat agraris didominasi
sebagai bos dan masyarakat industri didominasi pekerja (buruh). Maka
perbedaan ini akan mengubah sirkulasi sentuhan antarorang dan perilaku
dari kedua masyarakat secara kontras.
A. Perilaku Masyarakat Tangbar Dahulu
Masyarakat Tangerang Barat dahulu terkenal dengan kekuatan silaturahminya. Dahulu orang mengenal dengan istilah ampihan, artinya tempat seseorang yang ditokohkan sehingga banyak orang lain berkumpul untuk kongko-kongko saja atau memecahkan suatu masalah di tempat tersebut.
Masyarakat Tangerang Barat dahulu terkenal dengan kekuatan silaturahminya. Dahulu orang mengenal dengan istilah ampihan, artinya tempat seseorang yang ditokohkan sehingga banyak orang lain berkumpul untuk kongko-kongko saja atau memecahkan suatu masalah di tempat tersebut.
Ampihan inilah yang menyebabkan orang dari daerah lain mampu mendeteksi
letak dan posisi anggota masyarakat yang dikenalnya berada. Ampihan ini
pula yang menjadi simpul ketika undangan menggarap sawah, mendirikan
rumah, kerja bakti membersihkan kampung, musibah ketika kehilangan orang
(meninggal) atau kegiatan tahlilan yang akan dilaksanakan.
Dari ampihan ke ampihan yang lain inilah yang menjadikan budaya guyub di
setiap desa di daerah Tangerang barat. Kegiatan komunikasi mulut ke
mulut waktu itu menjadi jembatan yang paling sukses. Stasiun informasi
pun cukup diparkir di satu ampihan dan setiap orang yang menjadi anggota
menyerapnya. Timbulah kegiatan ngariung sebagai pola kehidupan bukan
saja di saat momen kenduri tetapi dalam segala hal.
Dahulu mudah saja menggerakan sekelompok pemuda/i untuk menggarap sawah
cukup dengan memberi makan siang dan malam. Dahulu dengan mudah melihat
sekelompok pemuda nonton hiburan wayang atau topeng berjalan beriringan
sambil saling lempar guyonan.
Penghargaan terhadap pemudi (baca: wanita) pun luar biasa dari
pemuda-pemuda Tangbar. Ketika mereka mengencani kekasihnya itu tidak
sendirian tetapi diiringi teman-temannya.
Jika pemuda mengajak kekasihnya nonton hiburan. Yang bergembira bukan
saja kekasihnya tetapi orang tua wanita juga sebab sang pemuda biasanya
akan membawa oleh-oleh penganan seperti bacang, leupeut, bebodor, dan
kacang sangrai yang cukup banyak. Konon, bisa sebakul bahkan sepikulan.
Hal ini dilakukan baik oleh si miskin apalagi yang kaya.
Kriteria pemilihan pemuda calon mantu pun berdasarkan pada skill sang
pemuda yang sudah pintar atau mampu menyangkul, ngored, ngawaluku atau
pintar menggergaji dan mengampak kayu. Begitu pun pemilihan terhadap
pemudinya. Pemudi yang siap dinikahkan itu pemudi yang sudah pintar
ngakeul, ngejo, nandur, dan ngetem dalam tibuat, panen padi.
Sistem berkelompok ini juga dilakukan oleh pemuda/i yang selepas magrib
saat berangkat mengaji. Jika pemuda, akan berada di depan atau di
belakang membawa obor dan pemudinya berada di tengah sambil menjungjung
Quran tangan kirinya, tangan kananya memegang obor sehingga jika dilihat
dari kejauhan seperti untai naga yang membelah malam.
Budaya pembuatan obor ini pun berlangsung ramai saat malam takbiran. Di
setiap pojok kampung terdapat obor. Beduk langgar pun berbunyi dimainkan
oleh sekelompok pemuda. Biasanya dilanjutkan hingga 7 hari pasca
lebaran. Biasanya disebut ngadu beduk istilahnya beduk barungan.
Berkumpulnya penduduk pada saat lebaran berlangsung di saat dan tempat
tertentu. Biasanya H + 1 para penduduk menjejali pemakaman. Pemakaman
yang ramai itu di antaranya Makam Salak, Balaraja; Makam Sumur Bandung,
Jayanti; Makam Keramat Solear, Solear; dan Makam Pangeran Jaga lautan,
Pulo cangkir-Kronjo.
Penulis terkesan dengan banyaknya penduduk, pedagang, dan ramainya
petasan dalam berbagai jenis yang di bakar pengunjung di Makam Salak,
Balaraja. Terasa saat itu pemuda/i dari berbagai ampihan berkumpul di
tempat tersebut untuk saling sapa atau jual tampang pada lawan jenisnya.
B. Perilaku Masyarakat Tangbar Di Era Globalisasi
Seperti kita ketahui Tangerang adalah negeri seribu industri. Begitupun Tangerang Barat menerima cipratan arus industri ini sehingga pola perilaku masyarakat Tangerang Barat lambat laun berubah.
Seperti kita ketahui Tangerang adalah negeri seribu industri. Begitupun Tangerang Barat menerima cipratan arus industri ini sehingga pola perilaku masyarakat Tangerang Barat lambat laun berubah.
Industri biasanya memberikan banyak peluang pekerjaan bagi banyak orang.
Orang dari berbagai daerah berkumpul di Tangerang Barat sehingga banyak
urban dari daerah Lampung, Palembang, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa
Timur, Bima, Sulawesi, Kalimantan, Indonesia Timor pun berkumpul. Akibat
ini pun membuka pelung orang asing dari Cina, Korea, Jepang, Eropa
bekerja di sektor ini.
Dari persentuhan budaya dan aktifitas pun mengubah pola pergaulan
masyarakat setempat. Walaupun di masa lalu sudah banyak warga pendatang
sudah ada seperti pedagang dari priangan, Jawa tengah, Jawa timur,
Madura dan Makasar sudah hadir di sini. Begitu juga warga Cina sudah
ratusan tahun mendiami daerah Tangerang Barat.
Masyarakat Tangerang Barat pada dasarnya welcome terhadap para
pendatang. Dan tidak protektif buktinya banyak penduduk di sini yang
menikah dengan penduduk luar. Akulturasi pun membentuk pola tingkah laku
yang beragam.
Pemuda Tangerang Barat pun tetap berkerumun tetapi tidak berada di
ampihan. Mereka di warung, cape, atau toserba. Sebagian ada juga yang
berkumpul di pinggir jalan, pos Kamling tetapi sifat mereka selalu
nomaden.
Pola pergaulan individualistis juga menjadi trend individu. Mereka yang memiliki kendaraan dengan mudah berkencan dengan pujaan hatinya. Kehidupan pun berubah nafsi-nafsi atau siasia-aingaing.
Pola pergaulan individualistis juga menjadi trend individu. Mereka yang memiliki kendaraan dengan mudah berkencan dengan pujaan hatinya. Kehidupan pun berubah nafsi-nafsi atau siasia-aingaing.
Yang menjadi preseden buruk bagi paradigma berfikir penduduk Tangerang
Barat yakni dalam hal pendidikan. Akibat arus industri ini paradigma
berpikir berpendidikan. Kalau dulu Orang-orang Tangerang Barat
kebanyakan sekolah untuk mendapatkan kemampuan yang mumpuni. Sekarang
banyak penduduk yang berpikir bahwa sekolah asal lulus dan muaranya
adalah bekerja di Pabrik.
Masalah asal-muasal pendidikan, besar-kecilnya nilai, bahkan
tinggi-rendahnya pendidikan bukan ukuran. Fenomena ini disebabkan tidak
ada sistem yang membedakan karena pemerintah maupun perusahaan tidak
memberikan ruang untuk kreatifitas dan prestasi seseorang. Misalnya saja
seorang sarjana yang bekerja di satu bagian produksi akan digaji sama
dengan lulusan SD.
Parahnya lembaga pendidikan pun tidak mampu memasok manusia yang
berkualified untuk menduduki jabatan yang disediakan juga virus KKN pun
telah menjalar di dunia industri. Akibatnya, paradigma ini menjadi
patokan dari tujuan akhir orang-orang Tangerang bersekolah.
Oleh karena itu, kejelian terhadap fenomena negatif ini harus menjadi
konsen bagi pemerintah maupun pemerintah daerah. Orang-orang Tangerang
Barat perlu diberikan pencerahan dalam hal ini sehingga patut kiranya
garansi bagi orang yang berprestasi dan berkarakter oleh pemerintah,
khususnya pemerintah daerah.
Walhasil, konservasi sumber daya manusia yang berprestasi perlu digalakkan di negeri demarkasi agraris dan industri ini.sumber