Nama lengkapnya ialah Abu Abdul Mu’thi Muhammad Nawawi
bin ‘Umar bin Arabi al-Jawi al-Bantani. Ia dilahirkan di Tanara, serang,
Banten, pada tahun 1230 H/ 1813 M. Ayahnya seorang tokoh agama yang sangat
disegani. Ia masih punya hubungan nasab dengan Maulana Syarif Hidayatullah atau
Sunan Gunung Jati (Cirebon).
Pada usia 15 tahun, Nawawi muda pergi belajar ke Tanah
Suci Makkah, karena saat itu Indonesia –yang namanya masih Hindia Belanda-
dijajah oleh Belanda, yang membatasi kegiatan pendidikan di Nusantara. Beberapa
tahun kemudian, ia kembali ke Indonesia untuk menyalurkan ilmunya kepada
masyarakat.
Tak lama ia mengajar, hanya tiga tahun, karena kondisi Nusantara masih sama, di bawah penjajahan oleh Belanda, yang membuat ia tidak bebas bergiat. Ia pun kembali ke Makkah dan mengamalkan ilmunya di sana, terutama kepada orang Indonesia yang belajar di sana. Banyak sumber menyatakan Syekh Nawawi wafat di Makkah dan dimakamkan di Ma’la pada 1314 H/ 1897 M, namun menurut Al-A’lam dan Mu’jam Mu’allim, dua kitab yang membahas tokoh dan guru yang berpengaruh di dunia Islam, ia wafat pada 1316 H/ 1898 M.
Posisi
Strategis al-Bantani bagi Dunia dan Indonesia
1.Syekh
Nawawi Al-Bantani adalah satu dari tiga ulama Indonesia yang mengajar di Masjid
Al-Haram di Makkah Al-Mukarramah pada abad ke-19 dan awal abad ke-20. Dua yang
lain ialah muridnya, Ahmad Khatib Minangkabau dan Kiai Mahfudz Termas. Ini
menunjukkan bahwa keilmuannya sangat diakui tidak hanya di Indonesia, melainkan
juga di semenanjung Arab. Syekh Nawawi sendiri menjadi pengajar di Masjid
al-Haram sampai akhir hayatnya yaitu sampai 1898, lalu dilanjutkan oleh kedua
muridnya itu. Wajar, jika ia dimakamkan berdekatan dengan makam istri Nabi
Khadijah di Ma’la.
2.Syekh
Nawawi Al-Bantani mendapatkan gelar “Sayyidu Ulama’ al-Hijaz” yang berarti
“Sesepuh Ulama Hijaz” atau “Guru dari Ulama Hijaz” atau “Akar dari Ulama
Hijaz”. Yang menarik dari gelar di atas adalah \beliau tidak hanya mendapatkan
gelar “Sayyidu ‘Ulama al-Indonesi” sehingga bermakna, bahwa kealiman beliau diakui
di semenanjung Arabia, apalagi di tanah airnya sendiri. Selain itu, beliau juga
mendapat gelar “al-imam wa al-fahm al-mudaqqig” yang berarti “Tokoh dan pakar
dengan pemahaman yang sangat mendalam”. Snouck Hourgronje member gelar “Doktor
Teologi”.
3.Pada tahun
1870, Syekh Nawawi diundang para ulama Universitas Al-Azhar dalam sebuah
seminar dan diskusi, sebagai apresiasi terhadap penyebaran buku-buku Syekh
Nawawi di Mesir. Ini membuktikan bahwa ulama al-Azhar mengakui kepakaran Syekh
Nawawi al-Bantani.
4.Paling tidak terdapat 34 karya Syekh Nawawi yang
tercatat dalam Dictionary of Arabic Printed Books. Namun beberapa
kalangan lainnya malah menyebut karya-karyanya mencapai lebih dari 100 judul,
meliputi berbagai disiplin ilmu, seperti tauhid, ilmu kalam, sejarah, syari’ah,
tafsir, dan lainnya. Sebagian karyanya tersebut juga diterbitkan di Timur
Tengah. Dengan kiprah dan karya-karyanya ini, menempatkan dirinya sebagai alim
terpandang di Timur Tengah, lebih-lebih di Indonesia.
5.Kelebihan dari Syekh Nawawi al-Bantani adalah
menjelaskan makna terdalam dari bahasa Arab, termasuk sastera Arab yang susah
dipahami, melalui syarah-syarahnya. Bahasa yang digunakan Syekh Nawawi
memudahkan pembaca untuk memahami isi sebuah kitab. Wajar jika syarah Syekh
Nawawi menjadi rujukan, karena dianggap paling otentik dan paling sesuai maksud
penulis awal. Bahkan, di Indonesia dan beberapa segara lain, syarah Syekh
Nawawi paling banyak dicetak yang berarti paling banyak digunakan dibandingkan
dengan buku yang terbit tanpa syarahnya.
6.Syekh Nawawi hidup di zaman di mana pemikiran Islam
penuh perdebatan ekstrim antara pemikiran yang berorientasi pada syari’at dan
mengabaikan hal yang bersifat sufistik di satu sisi (seperti Wahabi) serta
sebaliknya pemikiran yang menekankan sufisme lalu mengabaikan syari’at di sisi
lain (Seperti tarekat aliran Ibn Arabi). Kelebihan dari Syekh Nawawi adalah
mengambil jalan tengah di antara keduanya. Menurutnya, syari’at memberikan
panduan dasar bagi manusia untuk mencapai kesucian rohani. Karena itu,
seseorang dianggap gagal jika setelah melaksanakan panduan syari’at dengan
baik, namun rohaninya masih kotor. Hal sama juga berlaku bagi seorang sufi.
Mustahil ia akan mencapai kesucian rohani yang hakiki, bukan kesucian rohani
yang semu, jika ia melanggar atau malah menabrak aturan syari’at. Selain itu,
di masa itu juga muncul pemikiran yang secara ekstrem mengutamakan aqli
dan mengabaikan naqli atau sebaliknya mengutamakan naqli dan mengabaikan
aqli. Namun Syekh Nawawi berhasil mempertemukan di antara keduanya,
bahwa dalil naqli dan aqli harus digunakan secara bersamaan.
Namun jika ada pertentangan di antara kedunya, maka dalil naqli harus
diutamakan.
7.Dalam konteks Indonesia, Syekh Nawawi merupakan
tokoh penting yang memperkenalkan dan menancapkan pengaruh Teologi ‘Asy’ariyah.
Teologi ini merupakan teologi jalan tengah antara Teologi Qadariyah bahwa
manusia mempunyai kebebasan mutlak dengan teologi Jabariyah yang menganggap
manusia tidak mempunyai kebebasan untuk berbuat baik atau berbuat jahat.
8.Cara berpikir jalan tengah ini kemudian diadopsi
dengan baik oleh Nahdlatul Ulama (NU). Karena itu, banyak kalangan yang
berpandangan bahwa NU merupakan institusionalisasi dari cara berpikir yang
dianut oleh Syekh Nawawi al-Bantani. Apalagi pendiri NU, KH. Hasyim ‘Asy’ari
merupakan salah satu murid dari Syekh Nawawi al-Bantani.
9.Dalam konteks penjajahan, Syekh Nawawi al-Bantani
berpendapat bahwa bekerja sama dengan penjajah Belanda adalah haram hukumnya.
Karena itu, murid-murid Syekh Nawawi al-Bantani merupakan bagian terpenting
dari sejarah perjuangan memperebutkan kemerdekaan Indonesia. Pemberontakan
Petani Banten di abad 18 yang sangat merugikan Belanda, misalnya, merupakan
salah satu contoh dari karya murid Syek Nawawi. Karena itu, wajar jika Syekh
Nawawi menjadi salah satu objek “mata-mata” Snouck Hourgronje.
10.Berdasarkan penelitian Martin Van Bruinesen
(Indonesianis dari Belanda) setelah mengadakan penelitian di 46 pesantren
terkemuka di Indonesia ia berkesimpulan bahwa 42 dari 46 pesantren itu menggunakan
kitab-kitab yang ditulis Syekh Nawawi al-Bantani. Menurut Martin,
sekurang-kurangnya 22 karangan Nawawi yang menjadi rujukan di
pesantren-pesantren itu.
Karya-karya Monumental
Syekh Nawawi al-Bantani dikenal sebagai penulis
produktif, khususnya komentar terhadap karya-karya klasik sebelumnya, dalam
banyak bidang. Karya-karyanya mencapai seratusan judul.
Bidang-bidang
ditulis Syekh Nawawi cukup beragam, mulai di bidang Tafsir Hadist, Akidah,
Fiqih, dan Tasauf. Dalam Bidang Tafsir, beliau menulis Al-Tafsir al-Munir li
al-Muallim al-Tanzil al-Mufassir ‘an wujuh mahasin al-Ta’wil musamma Murah
Labid li Kasyfi Ma’na Quran Majid (yang dikenal dengan nama Tafsir Munir).
Tafsir al-Munir sering disejajarkan dengan Tafsir Jalalain, bahkan banyak
kalangan yang menganggap lebih baik.
Dalam Bidang Ilmu Akidah beliau menulis antara lian Tîjan
al-Darary, Nur al-Dhalam, Aqidah Fath al-Majîd. Pokok pikiran Syekh Nawawi
dalam akidah adalah bahwa manusia dalam keadaan tertentu mempunyai pilihan
untuk berbuat baik atau jahat. Namun dalam kesempatan lain, seperti dalam soal
kelahiran dan kematian manusia tidak mempunyai pilihan apapun, karena semuanya
sudah ditakdirkan. Pemikiran ini merupakan pemikiran ‘Asy’ariyah.
Dalam Bidang Ilmu Hadits beliau menulis Tanqih
al-Qaul yangmerupakan syarah atas Lubab Hadist, namun di pesantren
di Indonesia justru Tanqi al-Qaul lebih terkenal dari Lubab Hadist.
Bidang Ilmu Fiqih beliau menulis Sullam al-Munâjah,
Nihayah al-Zain, Kâsyifah al-Saja. Kasyifah al-Saja syarah atau
komentar terhadap kitab fiqih Safînah al-Najâ, karya Syaikh Sâlim bin
Sumeir al-Hadhramy. Kitab fiqih lainnya yang sangat terkenal di kalangan para
santri pesantren di Jawa ’Uqûd al-Lujain fi Bayân Huqûq al-Zaujain. Dalam
bidang fikih, Syekh Nawawi berhasil memperkenalkan dan menancapkan pengaruh
Madzhad Syafi’i di Indonesia seperti yang kita saksikan sekarang ini.
Bidang Ilmu Tasawuf beliau menulis Qami’u
al-Thugyan, Nashâih al-‘Ibâd, dan Minhâj al-Raghibi. Kitab Nashâih
al-‘Ibâd merupakan syarah atas kitab syarah atas al-Manbaĥâtu ‘ala
al-Isti’dâd li yaum al-Mi’âd. Namun di Indonesia Nashâih al-‘Ibâd lebih
terkenal dari kitab yang disyarahinya. Dalam bidang tasauf, Syekh Nawawi selalu
menekankan bahwa kesucian rohani bisa dicapai dengan cara menjalankan syari’at
Islam secara penuh dan konsekwen. Syekh Nawawi mengibaratkan syari’at sebagai
sebuah kapal, tarekat adalah lautan, dan hakikat adalah intan dalam lautan.
Intan dalam lautan dapat diperoleh dengan kapal yang harus berlayar di lautan.
Karena itu, kapal, laut, dan intan sangat terkait sebagaimana syariat, tarekat,
dan hakikat tidak bisa berjalan sendiri-sendiri.
Karya-karya Syekh Nawawi al-Bantani secara lebih
lengkap antara lain adalah sebagai berikut:
- al-Tsamâr al-Yâni’ah syarah al-Riyâdl al-Badî’ah
- al-‘Aqd al-Tsamîn syarah Fath al-Mubîn
- Sullam al-Munâjah syarah Safînah al-Shalâh
- Baĥjah al-Wasâil syarah al-Risâlah al-Jâmi’ah bayn al-Usûl wa al-Fiqh wa al-Tasawwuf
- al-Tausyîh/ Quwt al-Habîb al-Gharîb syarah Fath al-Qarîb al-Mujîb
- Niĥâyah al-Zayyin syarah Qurrah al-‘Ain bi Muĥimmâh al-Dîn
- Marâqi al-‘Ubûdiyyah syarah Matan Bidâyah al-Ĥidâyah
- Nashâih al-‘Ibâd syarah al-Manbaĥâtu ‘ala al-Isti’dâd li yaum al-Mi’âd
- Salâlim al-Fadhlâ΄ syarah Mandhûmah Ĥidâyah al-Azkiyâ΄
- Qâmi’u al-Thugyân syarah Mandhûmah Syu’bu al-Imân
- al-Tafsir al-Munîr li al-Mu’âlim al-Tanzîl al-Mufassir ‘an wujûĥ mahâsin al-Ta΄wil musammâ Murâh Labîd li Kasyafi Ma’nâ Qur΄an Majîd
- Kasyf al-Marûthiyyah syarah Matan al-Jurumiyyah
- Fath al-Ghâfir al-Khathiyyah syarah Nadham al-Jurumiyyah musammâ al-Kawâkib al-Jaliyyah
- Nur al-Dhalâm ‘ala Mandhûmah al-Musammâh bi ‘Aqîdah al-‘Awwâm
- Tanqîh al-Qaul al-Hatsîts syarah Lubâb al-Hadîts
- Madârij al-Shu’ûd syarah Maulid al-Barzanji
- Targhîb al-Mustâqîn syarah Mandhûmah Maulid al-Barzanjî
- Fath al-Shamad al ‘Âlam syarah Maulid Syarif al-‘Anâm
- Fath al-Majîd syarah al-Durr al-Farîd
- Tîjân al-Darâry syarah Matan al-Baijûry
- Fath al-Mujîb syarah Mukhtashar al-Khathîb
- Murâqah Shu’ûd al-Tashdîq syarah Sulam al-Taufîq
- Kâsyifah al-Sajâ syarah Safînah al-Najâ
- al-Futûhâh al-Madaniyyah syarah al-Syu’b al-Îmâniyyah
- ‘Uqûd al-Lujain fi Bayân Huqûq al-Zaujain
- Qathr al-Ghais syarah Masâil Abî al-Laits
- Naqâwah al-‘Aqîdah Mandhûmah fi Tauhîd
- al-Naĥjah al-Jayyidah syarah Naqâwah al-‘Aqîdah
- Sulûk al-Jâdah syarah Lam’ah al-Mafâdah fi bayân al-Jumu’ah wa almu’âdah
- Hilyah al-Shibyân syarah Fath al-Rahman
- al-Fushûsh al-Yâqutiyyah ‘ala al-Raudlah al-Baĥîyyah fi Abwâb al-Tashrîfiyyah
- al-Riyâdl al-Fauliyyah
- Mishbâh al-Dhalâm’ala Minĥaj al-Atamma fi Tabwîb al-Hukm
- Dzariyy’ah al-Yaqîn ‘ala Umm al-Barâĥîn fi al-Tauhîd
- al-Ibrîz al-Dâniy fi Maulid Sayyidina Muhammad al-Sayyid al-Adnâny
- Baghyah al-‘Awwâm fi Syarah Maulid Sayyid al-Anâm
- al-Durrur al-Baĥiyyah fi syarah al-Khashâish al-Nabawiyyah
- Lubâb al-bayyân fi ‘Ilmi Bayyân.