Jika
merunut kepada legenda rakyat dapat disimpulkan bahwa cikal-bakal
Kabupaten Tangerang adalah Tigaraksa. Nama Tigaraksa itu sendiri berarti
Tiang Tiga atau Tilu Tanglu, sebuah pemberian nama sebagai wujud
penghormatan kepada tiga Tumenggung yang menjadi tiga pimpinan ketika
itu. Seorang putra Sultan Ageng Tirtayasa dari Kesultanan Banten
membangun tugu prasasti di bagian Barat Sungai Cisadane, saat ini
diyakini berada di Kampung Gerendeng. Waktu itu, tugu yang dibangun Pangeran Soegri dinamakan sebagai Tangerang, yang dalam bahasa Sunda berarti tanda.
Prasasti yang tertera di tugu tersebut ditulis dalam huruf Arab
”gundul” berbahasa Jawa kuno yang berbunyi ”Bismillah pget Ingkang
Gusti/Diningsun juput parenah kala Sabtu/Ping Gangsal Sapar Tahun
Wau/Rengsena perang netek Nangaran/Bungas wetan Cipamugas kilen
Cidurian/Sakabeh Angraksa Sitingsun Parahyang”. Yang berarti ”Dengan
nama Allah Yang Maha Kuasa/Dari Kami mengambil kesempatan pada hari
Sabtu/Tanggal 5 Sapar Tahun Wau/Sesudah perang kita memancangkan
tugu/untuk mempertahankan batas Timur Cipamungas (Cisadane) dan Barat
Cidurian/Semua menjaga tanah kaum Parahyang. Sebutan ”Tangeran” yang
berarti ”tanda” itu lama-kelamaan berubah sebutan menjadi Tangerang
sebagaimana yang dikenal sekarang ini.
Dikisahkan,bahwa kemudian pemerintahan ”Tiga Maulana”, ”Tiga
Pimpinan” atau ”Tilu Tanglu” tersebut tumbang pada tahun 1684, seiring
dengan dibuatnya perjanjian antara Pasukan Belanda dengan Kesultanan
Banten pada 17 April 1684. Perjanjian tersebut memaksa seluruh wilayah
Tangerang masuk ke kekuasaan Penjajah Belanda. Kemudian, Belanda
membentuk pemerintahan kabupaten yang lepas dari Kesultanan Banten di
bawah pimpinan seorang bupati.
Para bupati yang pernah memimpinan Kabupaten Tangerang di era pemerintahan Belanda pada periode tahun 1682-1809 adalah Kyai Aria Soetadilaga I-VII.
Setelah keturunan Aria Soetadilaga dinilai tidak mampu lagi
memerintah Kabupaten Tangerang, Belanda mengahpus pemerintahan ini dan
memindahkannya ke Batavia. Kemudian Belanda membuat kebijakan, sebagian
tanah di Tangerang dijual kepada orang-orang kaya di Batavia, yang
merekrut pemuda-pemuda Indonesia untuk membantu usaha pertahanannya,
terutama sejak
kekalahan armadanya di dekat Mid-Way dan Kepulauan Solomon.
Kemudian pada tanggal 29 April 1943 dibentuklah beberapa organisasi
militer, diantaranya yang terpenting ialah Keibodan (barisan bantu
polisi) dan Seinendan (barisan pemuda). Disusul pemindahan kedudukan
Pemerintahan Jakarta ke Tangerang dipimpin oleh Kentyo M. Atik Soeardi
dengan pangkat Tihoo Nito Gyoosieken atas perintah Gubernur Djawa
Madoera.
Seiring dengan status daerah Tangerang ditingkatkan menjadi Daerah
Kabupaten, maka daerah Kabupaten Jakarta menjadi Daerah Khusus Ibu Kota.
Di wilayah Pulau Jawa pengelolaan pemerintahan didasarkan pada
Undang-undang nomor 1 tahun 1942 yang dikeluarkan setelah Jepang
berkuasa. Undang-undang ini menjadi landasan pelaksanaan tata Negara
yang azas pemerintahannya militer.
Panglima Tentara Jepang, Letnan Jenderal Hitoshi Imamura, diserahi
tugas untuk membentuk pemerintahan militer di Jawa, yang kemudian
diangkat sebagai gunseibu. Seiring dengan hal itu, pada bulan Agustus
1942 dikeluarkan Undang-undang nomor 27 dan 28 yang mengakhiri
keberadaan gunseibu.
Berdasarkan Undang-undang nomor 27, struktur pemerintahan militer di
Jawa dan Madura terdiri atas Gunsyreikan (pemerintahan pusat) yang
membawahi Syucokan (residen) dan dua Kotico (kepala daerah istimewa).
Syucokan membawahi Syico (walikota) dan Kenco (bupati). Secara hirarkis,
pejabat di bawah Kenco adalah Gunco (wedana), Sonco (camat) dan Kuco
(kepala desa).
Pada tanggal 8 Desember 1942 bertepatan dengan peringatan Hari
Pembangunan Asia Raya, pemerintah Jepang mengganti nama Batavia menjadi
Jakarta.
Pada akhir 1943, jumlah kabupaten di Jawa Barat mengalami perubahan,
dari 18 menjadi 19 kabupaten. Hal ini disebabkan, pemerintah Jepang
telah mengubah status Tangerang dari kewedanaan menjadi kabupaten.
Perubahan status ini didasarkan pada dua hal; pertama,kota Jakarta
ditetapkan sebagai Tokubetsusi (kota praja), dan kedua, pemerintah
Kabupaten Jakarta dinilai tidak efektif membawahi Tangerang yang
wilayahnya luas.
Atas dasar hal tersebut, Gunseikanbu mengeluarkan keputusan tanggal 9
November 1943 yang isinya: ”Menoeroet kepoetoesan Gunseikan tanggal 9
boelan 11 hoen syoowa 18 (2603) Osamu Sienaishi 1834 tentang pemindahan
Djakarta Ken Yakusyo ke Tangerang, maka dipermakloemkan seperti di
bawah ini: Pasal 1: Tangerang Ken Yakusyo bertempat di Kota Tangerang,
Tangerang Son, Tangerang Gun, Tangerang Ken. Pasal 2: Nama Djakarta Ken
diganti menjadi Tangerang Ken. Atoeran tambahan Oendang-Oendang ini
dimulai diberlakukan tanggal27 boelan 12 tahoen Syouwa 18 (2603).
Djakarta, tanggal 27 boelan 12 tahoen Syouwa 18 (2603). Djakarta
Syuutyookan.
Sejalan dengan keluarnya surat keputusan tersebut, Atik Soeardi yang
menjabat sebagai pembantu Wakil Kepala Gunseibu Jawa Barat, Raden Pandu
Suradiningrat, diangkat menjadi Bupati Tangerang (1943-1944).
Semasa Bupati Kabupaten Tangerang dijabat, H. Tadjus Sobirin
(1983-1988 dan 1988- 1993) bersama DPRD Kabupaten Tangerang pada masa
itu, menetapkan hari jadi Kabupaten Tangerang tanggal 27 Desember 1943
(Peraturan Daerah Nomor 18 Tahun 1984 tanggal 25 Oktober 1984).
Seiring dengan pemekaran wilayah dengan terbentuknya pemerintah Kota
Tangerang tanggal 27 Februari 1993 berdasarkan Undang-undang Nomor 2
Tahun 1993, maka pusat pemerintahan Kabupaten Tangerang pindah ke
Tigaraksa. Pemindahan ibukota ke Tigaraksa dinilai strategis, karena
menggugah kembali cita-cita dan semangat para pendiri untuk mewujudkan
sebuah tatanan kehidupan masyarakat yang bebas dari belenggu penjajahan
(kemiskinan, kebodohan dan ketertinggalan) menuju masyarakat yang
mandiri, maju dan sejahtera.